Kisah Ka’b Sang Penyair dan Burdah: dari Benci sampai Cinta Rasul

Kisah Ka’b Sang Penyair dan Burdah
Burdah. Mendengar kata ini, sekejap yang terlintas adalah beberapa bait puisi yang berisi sanjungan dan pepujian kepada Nabi Muhammad Saw. Bukankah arti Burdah adalah “kain bergaris-garis”? Apa hubungannya dengan puisi-puisi itu?

Sejarah ini bermula dari dua putera Zuhair bin Abi Sulma Al-Mazini. Zuhair dikenal masyarakat Arab sebagai sosok yang piawai merangkai puisi (syi’ir). Bakat ini menurun kepada dua puteranya, Ka’ab dan Bujair. Di masyarakat Arab kala itu, mereka tersohor sebagai keluarga penyair.

Setelah mendengar dakwah Nabi Saw, Bujair memeluk agama Islam. Tidak demikian dengan Ka’ab. Ka’ab tidak mau memeluk Islam. Bahkan, melalui puisi-puisinya, ia menghina Nabi dan saudaranya sendiri yang telah memeluk Islam, Juhair, sebagai berikut

أَلَا أَبْلِغَا عَنِّي بُجَيْرًا رِسَالَةً * عَلَى أَيِّ شَيْءٍ وَيْبَ غَيْرِكَ دَلَّكًا

عَلَى خُلُقٍ لَمْ تُلْفِ أُمًّا وَلَا أَبًا * عَلَيْهِ وَلَمْ تُدْرِكْ عَلَيْهِ أَخًا لَكَا

سَقَاكَ أَبُو بَكْرٍ بِكَأْسٍ رَوِيَّةٍ * فَأَنْهَلَكَ الْمَأْمُورُ مِنْهَا وَعَلَّكَا

Dalam puisinya, Ka’ab mengatakan bahwa Juhair telah salah memilih teman dan pemimpin yang telah mengajaknya bermabuk-mabukan sehingga terjerumus ke dalam ajaran sesat. Saat puisi tersebut sampai kepada Nabi Saw, Nabi marah dan berpesan, “siapapun yang menjumpai Ka’b, hendaklah ia membunuhnya.”

Bujair kemudian mengabarkan kemarahan Nabi Saw tersebut kepada Ka’b. Bahkan, Ka’b mengabarkan kepada saudaranya bahwa Rasulullah akan membutuh semua orang yang menyakitinya. Dalam suratnya, Bujair mengatakan bahwa di antara penyair Quraisy yang tersisa adalah Ibnuz Zaba’ra dan Hubairah bin Abi Wahb. Mereka berdua telah kabur entah kemana.

Namun, selain kabar yang berisi ancaman, Ka’b juga mengirimkan kabar baik bahwa tidak ada seorang pun yang datang menghadap Nabi Saw dengan mengucapkan dua kalimat syahadat dan bertaubat kecuali Beliau akan menerimanya. Ka’b berpesan kepada saudaranya, “jika suratku ini telah engkau terima, segeralah masuk Islam dan menghadap kepada Nabi. Atau jika engkau tidak berkenan masuk Islam, segeralah pergi ke belahan bumi yang menurutmu aman.”

Kemudian Ka’b menghadap kepada Rasulullah saat Beliau sedang berada di masjid bersama para shahabat. Ka’b mengakui segala kesalahan, bertaubat dan menyatakan diri masuk Islam. Rasulullah bertanya kepada Ka’b, “engkaukah orang yang berpuisi….” Kemudian Rasulullah menengok ke arah Abu Bakar. Abu Bakar pun membacakan puisi Ka’b yang berisi hinaan kepada Nabi sebagaimana di atas.

Namun, Ka’b menyanggah puisi yang dibaca Abu Bakar. Ka’b berkata, “tidak, tidak demikian wahai Nabi.” Ka’b kemudian mengubah puisi yang semula berisi hinaan menjadi pujian kepada Nabi. Setelah diubah, puisi tersebut menjadi begini:

سَقَاكَ أَبُو بَكْرٍ بِكَأْسٍ رَوِيَّةٍ ... فَأَنْهَلَكَ الْمَأْمُونُ مِنْهَا وَعَلَّكَا

Ka’b mengubah kata “al-ma`mur” menjadi “al-ma`mun”. “Al-ma`mur” dalam bahasa Arab mempunyai konotasi negatif, yaitu orang yang diperintah atau dipengaruhi jin dan suka berbicara berdasarkan nafsu. Sedangkan “al-ma`mun” memberikan konotasi positif, yaitu orang yang dipercaya mengemban wahyu Allah. Rasulullah tampak senang dengan kata “al-ma`mun” dan puisi Ka’b secara keseluruhan.

Ka’b kemudian melanjutkan membaca puisinya yang sangat panjang yang berisi sanjungan dan pujian kepada Nabi. Abu ‘Umar bin ‘Abdil Barr mengatakan bahwa saat Ka’b sampai pada kalimat berikut, Nabi meminta kepada orang-orang di sekelilingnya untuk mendengarkan Ka’b:

إِنَّ الرَّسُولَ لَنُورٌ يُسْتَضَاءُ بِهِ * مُهَنَّدٌ مِنْ سُيُوفِ اللَّهِ مَسْلُولُ

نُبِّئْتُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ أَوْعَدَنِي * وَالْعَفْوُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ مَأْمُولُ

Sesungguhnya Rasulullah adalah cahaya yang menerangi.

Ia laksana pedang dari beberapa pedang Allah yang terhunus.

Aku telah diberitahu bahwa Rasulullah telah memberiku harapan.

Maaf dari Rasulullah adalah harapan(ku).

Setelah Ka’b selesai membacakan qashidah atau puisinya, Nabi memberikan selendang bergaris (Burdah) yang dikenakannya kepada Ka’b.

Saat menjadi khalifah, Mu’awiyah sempat hendak membeli Burdah tersebut dari Ka’b. Namun, Ka’b menolaknya. Ka’b berkata:

مَا كُنْتُ لِأُوثِرَ بِثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ أَحَدًا

Artinya: “saya tidak akan menyerahkan pakaian Rasulullah ini kepada siapapun.”

Setelah Ka’b wafat, Mu’awiyah berhasil membeli Burdah tersebut dari ahli waris Ka’b seharga 20.000 dirham. Burdah atau selendang ini kemudian turun-temurun disimpan oleh para Khalifah sesudahnya hingga kini tersimpan di sebuah museum di Turki.

***

Kisah ini sekaligus mengandung hikmah bahwa memuji Nabi Muhammad Saw dengan menggunakan puisi atau qashidah atau syi’ir adalah diperbolehkan. Seandainya Nabi tidak berkenan, tentu Beliau menolak puisi sanjungan Ka’b.
Wallahu a’lam (RZL/digium)

Bahan bacaan:
Ibnul Atsir (w. 630 H), Al-Kamil fit Tarikh
Ibnu Katsir (w. 774 H), Al-Bidayah wan Nihayah
Syamsuddin Adz-Dzahabi (w. 784 H), Tarikhul Islam wa Wafayatul Masyahir wal A’lam


0 Response to "Kisah Ka’b Sang Penyair dan Burdah: dari Benci sampai Cinta Rasul"

Posting Komentar